Minggu, 09 September 2007

Pseudo-Democracy

D-E-M-O-C-R-A-C-Y. Sebuah kata yang sakral bagi sebagian besar orang yang ada di muka bumi. Bahkan sudah dianggap sebagai agama baru. Kalo tidak "beragama" demokrasi berarti otoriter! Bener nih? Mari kita buka lebar-lebar mata kita, kita telanjangi bersama ide turunan kapitalisme ini bersama-sama! Tapi kita harus sepakat dulu, bahwa logika, fakta, dan tentu saja ide khas dari Sang Khaliq sebagai standar penilaian!

"Demokrasi bisa menampung kekuatan kebaikan dan kekuatan keburukan. Jadi demokrasi sudah mewakili dua kekuatan (baik-buruk) untuk hidup berdampingan satu sama lain" begitu kata Ulil, Jenderal JIL. "Tidak dipungkiri, memang Demokrasi memberikan kesempatan untuk bertarungnya dua kekuatan, baik dan buruk, di negara yang menganut sistem Demokrasi. Tetapi sebagai umat Islam kita harus bersyukur hidup di negara Demokrasi karena kita masih diberi kesempatan untuk mendakwahkan Islam" begitulah tulisan Anis Matta, dalam buku Menikmati Demokrasi yang seolah-oleh melengkapi pernyataan Ulil.

Pernyataan dua tokoh di atas agaknya benar, tetapi apabila kita mau berpikir sedikit cerdas, maka pernyataan di atas, tidak sesuai dengan fakta. Misalkan, mengapa orang yang mendakwahkan untuk kembali kepada sistem Islam dianggap orang yang anti pancasila, teroris, anti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia, BUKAN Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah)? tetapi orang-orang yang melecehkan dan memperkosa ajaran-ajaran Islam dianggap sebagai kebebasan berpikir yang harus dilindungi! Apakah ini yang disebut "hidup berdampingan"? - meminjam istilah Ulil dan Anis atau dengan kata lain "keadilan" untuk dua kekuatan tadi? TIDAK! sekali lagi TIDAK! Omong Kosong!

"Kekuatan Ilahi (baca: kebaikan) tidak bisa hidup berdampingan dengan kekuatan syetan (baca: keburukan) dalam hati manusia. Selamanya tidak akan bisa bersatu. Mereka akan saling mengalahkan! Siapakah yang menang itu yang akan menentukan sifat dan karakter manusia. Apabila kekuatan Ilahi (simbol kebaikan) menang maka dia akan jadi orang baik tetapi apabila kekuatan syetan (simbol kejahatan) menang maka ia akan menjadi syetan yang berwujud manusia" begitulah kutipan dari Ibnu Qayyim Al Jauzi, Ulama Sufi terkenal.

Saya rasa jawab Sang Sufi itu cukup telak menggulingkan pendapat Ulil dan Anis. Negara yang menganut demokrasi tidak akan bisa bertindak adil untuk melindungi dua kekuatan tadi! Walaupun menurut pandangan orang awam, bahwa demokrasi itu cukup fair, termasuk Ulil dan Anis.

Selain ketidakadilan (yang dianggap sebagaian orang sebagai keadilan) demorkasi, masih banyak ide-ide yang semu demokrasi. Suara terbanyak, salah satu inti ajaran demokrasi yang juga semu, seolah-oleh menjadi syarat dalam pengambilan keputusan. Buktinya ajaran ini tidak dipakai di Indonesia, saya rasa semua udah tahu, menurut data Badan Pusat Statistik di Indonesia umat Islam mayoritas, seharusnya diadakan referendum untuk memilih Pancasila atau Islam sebagai dasar negara, maka saya yakin 100%, banyak yang setuju Islam sebagai dasar negara. Itu kalo Indonesia mau konsisten sebagai negara demokrasi! tetapi, sekali lagi Demokrasi itu TIDAK KONSISTEN!

Itulah sebagaian kecil bukti bahwa demokrasi hanyalah ide semu (pseudo-idea) yang tidak layak dijadikan panutan untuk hidup! Oleh karena itu, sudah saatnya membuang demokrasi ke "tempat sampah" Peradaban dan menggantikan dengan sistem Islam yang Rahmatan lil 'Alamin. Setuju? Harus setuju!

Tidak ada komentar: